Senin, 11 Juli 2011

Maria Ulfa Cetak Qariah, Bangun Pesantren di Rumah

Di mata Maria Ulfa, keterpurukan Indonesia tidak hanya di bidang olahraga dan pendidikan, tetapi juga di dalam pendidikan seni membaca dan hafalan kitab suci Alquran. Qariah yang menjadi juara dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1980 itu prihatin karena perhatian pemerintah memudar seiring dengan hilangnya gema Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di negeri ini.
Baca selengkapnya....Contoh perhatian yang tidak seantusias dulu terjadi ketika Maria menjadi official qariah Ade Halimah, juara membaca dan hafalan Alquran 30 juz pada 2007. Sepulang mereka dari kontes di Libya, tidak ada perwakilan pemerintah yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta.

Padahal, kata Maria, dirinya sudah menghubungi pejabat pemerintah karena sudah membawa nama baik negara. Dalam kontes itu mereka membawa hadiah Rp 500 juta. ’’TV dan media-media di sana (Libya, Red) memberikan sambutan luar biasa setelah juara. Banyak yang meminta wawancara,’’ kenang perempuan kelahiran Lamongan, 21 Desember 1955, tersebut.
Sesampainya mereka di Jakarta, ternyata tidak ada sambutan sedikit pun. Maria dan Ade Halimah harus pulang dengan menumpang bus umum di Bandara Soekarno-Hatta.

Kondisi itu lain bila dibandingkan dengan pengalaman dirinya pada 1980 saat menjadi juara pertama tingkat dunia seni membaca Alquran di Kuala Lumpur. Begitu dia menjejakkan kaki di Jakarta, ada kalungan bunga. Dia pun diarak sampai ke Balai Kota DKI Jakarta. Lalu, di sana ada upacara penyambutan. ’’Selanjutnya, kita diinapkan di hotel. Belum boleh pulang karena esok harinya diajak sowan kepada menteri-menteri,’’ kisah alumnus IAIN Sunan Ampel itu.

Bagi Maria, kurangnya perhatian pemerintah jelas amat memprihatinkan. Itu berimbas pada terpuruknya MTQ yang dulu sangat populer. Imbas lanjutannya, Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia tidak pernah lagi menjadi juara MTQ tingkat internasional dalam lima tahun belakangan ini. ’’Bisa jadi juga karena salah pilih juri di MTQ nasional,’’ tuturnya.

Meski begitu, Maria tidak pernah menyerah. Pada 2001 dia mendirikan Pesantren Baitul Qurro dan Pusat Studi Tilawatil Quran Jakarta. Lokasinya di lingkungan rumahnya di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi di perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan. ’’Sekarang ada dua institusi tempat saya mengabdi, di pesantren ini dan Institut Ilmu Alquran (IIQ di Ciputat sebagai pembantu rektor III, Red),’’ kata istri dokter spesialis paru Mukhtar Ikhsan tersebut.

Pesantren Baitul Qurro, tutur Maria, didirikan secara tidak sengaja setelah ada begitu banyak calon qari dan qariah yang berdatangan menuntut ilmu. Awalnya dia menampung mereka di lantai dua rumahnya. ’’Karena anak saya bertambah besar dan minta kamar (terpisah), kebetulan rumah di depan itu dijual, akhirnya saya buatkan sebagai pesantren tahap pertama,’’ jelasnya.

Maria pun membeli tiga bidang tanah di samping rumahnya. Lokasinya saling berdampingan sehingga bisa dipersatukan. Saat ini pesantrennya memiliki dua bangunan bertingkat untuk 40 santri yang terdiri atas 30 perempuan dan 10 pria. ’’Dua puluh di antaranya (belajar) gratis karena mereka punya bakat besar, tapi dari keluarga kurang mampu,’’ ungkapnya.

Seluruh santri itu masih bersekolah di pagi hari. Mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Sepulang dari belajar di sekolah formal itulah, kegiatan mereka di pesantren dimulai hingga malam. ’’Mereka tinggal di sini. Hanya sekolah yang di luar,’’ ujarnya.

Maria menerapkan kurikulum tersendiri dengan penekanan khusus pada metode baca Alquran untuk MTQ. Dalam mengajar, Maria dibantu ustadah lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan syekh Mesir yang ditugaskan pemerintahnya untuk menyebarkan ilmu Alquran di Indonesia. ’’Syekh itu ditugaskan untuk IIQ, tetapi belum ada jadwal mengajar di sana. Jadi, saya minta di sini. Kan sama saja. Gajinya dari pemerintah Mesir,’’ terangnya.

Maria berharap para santri itu mampu meneruskan jejak dan prestasinya. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dunia. ’’Selain (mengajar) di pesantren ini, saya sebetulnya juga ke provinsi-provinsi. Banyak dan bahkan sebagian besar (santri binaannya, Red) jadi juara provinsi. Tetapi, belum sampai juara nasional,’’ kata ibu tiga anak dan nenek dua cucu itu.

Maria juga berharap ada anggota keluarga yang menjadi penerus. Terutama, mengelola pesantren yang dibangunnya dengan biaya sendiri. Tetapi, di antara tiga anaknya yang laki-laki (Nabris, Labib, dan Rifky), tidak ada yang berbakat menjadi qari.

’’Tidak ada yang suaranya bagus. Rata-rata lurus saja begitu,’’ ujarnya. ’’Suara (qari) kan harus punya getaran. Ada cengkok-cengkoknya begitu. Jika bukan karunia Allah, memang tidak bisa. Ada yang ayahnya qari dan ibunya qariah, tetapi suara anaknya nggak bagus. Sebaliknya, ada yang ayah-ibunya bukan qari dan qariah, tapi suara anaknya bagus,’’ ungkapnya.

Ketiga anaknya justru mengikuti jejak sang ayah, yakni kuliah di bidang kedokteran. Dua di antaranya menikah dan berprofesi dokter. Maria lantas berharap kepada dua menantu perempuannya. Tetapi, mereka lebih suka dunia medis. ’’Saya tinggal berharap, semoga anak bungsu saya dapat (jodoh) qariah. Saya sudah tawarkan ke dia, ’mama pilihkan ya?’,’’ ceritanya lantas tertawa.

Jika rencana itu tidak berhasil, Maria bisa berharap kepada cucunya. Salah seorang dari dua cucunya adalah perempuan, yakni Aisyah, 2. ’’Suka saya tanya, Aisyah kalau sudah besar mau jadi apa? ’Mau jadi qariah kayak mbah putri’. Begitu katanya,’’ ungkap Maria.
Maria juga berharap keluarganya mau melanjutkan pesantren yang didirikannya itu. Dengan begitu, misi melahirkan para qari dan qariah terwujud dan ilmu yang dimiliki tidak terputus.

1 komentar:

Posting Komentar

Stat & Directory