Qari Indonesia, Deden Muhammad Makhyaruddin berhasil meraih juara satu, untuk kategori bergengsi lomba hafalan Qur’an 30 juz dan tafsirnya, pada Musabaqah Tahfiz, Tajwid, dan Tafsir Al-Quran (MTQ) Internasional memperebutkan Piala Raja Mohammed VI ke-6, yang diadakan pada 4-7 Februari 2011, di Casablanca, Maroko.Baca selengkapnya....
Recent Posts
Rabu, 27 Juli 2011
Senin, 18 Juli 2011
Menurut Kantor Berita ABNA, Acara pembukaan MTQ Internasional ke XXVIII yang diselenggarakan di Teheran, Republik Islam Iran dimulai dengan pembacaan Al Quran yang dibawakan oleh Ust. Rahim Khaki, seorang qari' tingkat internasional dan merupakan qari kehormatan di MTQ tahun ini. Setelah pembukaan tampil seorang peserta dari Gurjistan bernama Qanbab Alif, kemudian dilanjutkan Mahir Mudzaffar, peserta dari Bosnia Herzegovina semua menampilkan kebolehannya dalam seni qiraah. Baca selengkapnya....Adapun di kelompok menghafal seluruh al Quran tampil Mohammad Farzan, dari Srilanka, dilanjutkan dengan pembacaan Sami Ath Thusi dari Tunisia. Selanjutnya Mohammad Batiy dari Uganda, Abdurrahman Awadh dari Lebanon, Habib Abdul Muthalib dari Austria dan diakhiri dengan persembahan nasyid Thaha Group. Pada sesi kedua tampil Usamah Al Husain dari Saudi Arabia, Ibrahim Al Hasyimi dari Belgia, Ahmad sulaiman dari Afrika Selatan, Bann Musthafa dari Thailand semua di bidang menghafal seluruh Al quran .
Dalam acara penutupan tampil Sayid Karim Musavi membawakan sejumlah doa dan munajat serta karim Mansuriy, qari' internasional membacakan beberapa ayat Al Quran dan diakhiri oleh Hasan Ridhaiyan yang juga qari' internasional dari Iran membawakan adzan maghrib.
Setelah pelaksanaan shalat Isya yang diikuti oleh seluruh peserta, juri, pers dan para pejabat negara yang hadir, pelaksanaan lomba dilanjutkan dengan Khalid Aunillah dari Al Jazair yang menampilkan kemampuan hafalannya, kemudian dilanjutkan oleh Kujer Umar Ali dari irak, Gubiyal Muntashir dari Filipina, Abdul Mun'im Ahmad Muhammad Umar dari Sudan dan Muslim Qahriman Uf dari Azerbeyjan. Selanjutnya tampil Murtadha Mohammad Nejad dari Iran, Musthafa Uzjan dari Jerman.
Pada penutupan acara Menteri Kebudayaan dan Penerangan Islami Sayid Mohammad Husainiy menyampaikan sambutannya dan mengucapkan selamat kepada seluruh peserta. sebagaimana juga menyampaikan ucapan selamat memperingati hari BI'TSAH (pengangkatan Nabi) seraya menyebutkan, bahwa Allah SWT telah memberikan tugas berat risalah kepada Nabi Muhammad saw yang memiliki keutamaan dan kepribadian yang sangat tinggi.
Nabi pun telah menjalankan tugasnya dengan baik, memperkenalkan tauhid dan keadilan kepada seluruh dunia demi kehidupan manusia yang penuh dengan kebahagian di dunia dan akhirat, tegasnya.
Acara ditutup dengan pembacaan Fakhruddin Sarungpait, Qari' kehormatan dari Indonesia. pada MTQ kali ini juga dilaksanakan pameran dengan beberapa stand diantaranya IQNA, Hijab, hasil karya Qurani, kesenian kaligrafi Al Quran, lukisan ayat Al Quran serta buku dan penerbitan Al Quran.
Dalam acara penutupan tampil Sayid Karim Musavi membawakan sejumlah doa dan munajat serta karim Mansuriy, qari' internasional membacakan beberapa ayat Al Quran dan diakhiri oleh Hasan Ridhaiyan yang juga qari' internasional dari Iran membawakan adzan maghrib.
Setelah pelaksanaan shalat Isya yang diikuti oleh seluruh peserta, juri, pers dan para pejabat negara yang hadir, pelaksanaan lomba dilanjutkan dengan Khalid Aunillah dari Al Jazair yang menampilkan kemampuan hafalannya, kemudian dilanjutkan oleh Kujer Umar Ali dari irak, Gubiyal Muntashir dari Filipina, Abdul Mun'im Ahmad Muhammad Umar dari Sudan dan Muslim Qahriman Uf dari Azerbeyjan. Selanjutnya tampil Murtadha Mohammad Nejad dari Iran, Musthafa Uzjan dari Jerman.
Pada penutupan acara Menteri Kebudayaan dan Penerangan Islami Sayid Mohammad Husainiy menyampaikan sambutannya dan mengucapkan selamat kepada seluruh peserta. sebagaimana juga menyampaikan ucapan selamat memperingati hari BI'TSAH (pengangkatan Nabi) seraya menyebutkan, bahwa Allah SWT telah memberikan tugas berat risalah kepada Nabi Muhammad saw yang memiliki keutamaan dan kepribadian yang sangat tinggi.
Nabi pun telah menjalankan tugasnya dengan baik, memperkenalkan tauhid dan keadilan kepada seluruh dunia demi kehidupan manusia yang penuh dengan kebahagian di dunia dan akhirat, tegasnya.
Acara ditutup dengan pembacaan Fakhruddin Sarungpait, Qari' kehormatan dari Indonesia. pada MTQ kali ini juga dilaksanakan pameran dengan beberapa stand diantaranya IQNA, Hijab, hasil karya Qurani, kesenian kaligrafi Al Quran, lukisan ayat Al Quran serta buku dan penerbitan Al Quran.
Acara Pembukaan MTQ Internasional Ditutup Qari Kehormatan Indonesia
Senin, 11 Juli 2011
Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.Baca selengkapnya....Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai membaca ta’awudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan, ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah yang bernada rendah.
Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.
Ia memang “legenda”. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustaz H. Muammar Z.A.
Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.
Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar.
Naik Tandu
“Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Ka’bah,” tuturnya haru. “Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Ka’bah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.”
Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.
Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.
Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.
“Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,” kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. “Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.”
Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.
Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.
“Niat saya itu kan berkhidmah,” tutur Muammar dengan rendah hati. “Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.”
Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. “Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur,” katanya tulus.
“Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.”
Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.
Sejak Belia
Meski masih terlihat cukup muda, Ustaz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mu’minatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.
Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh.
Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.
“Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,” kenang Muammar.
Sekitar awal tahun ‘60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.
Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.
Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.
Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
“Wah, saya nggak siap,” ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.
Tidak Berpantang
Ditanya mengenai rahasia suaranya, suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep rahasia apa pun. “Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis,” ungkap Muammar. “Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya selalu pulang pagi.”
Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak berani ikut gurah. “Saya nggak berani ikut,” katanya. “Apalagi yang enggak jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he.” Sebenarnya, kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq, memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.
Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri kepada Allah. “Niat saya mau ngaji lillaahi ta’ala, ‘Ya Allah, tolong saya’.” Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up, pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah. Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk menghindari kaget.
Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.
“Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit,” ungkapnya, berbagi resep. “Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.”
Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati. Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya saya suka.” Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah jam, jika di dalam kota. “Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan lebih.”
Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.
Lia Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester ketiga di London School, jurusan bahsa Inggris. Sejak TK, Lia memang gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya, menurut Muammar, cenderung ke Amerika.
Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP, Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yua’yyan Al-Dani, kelas 3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu belum tergarap.
Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan huruf ba’ dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab, dan daerah Timur Tengah lainnya.
Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni. Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita rasa bahasa), dan sebagainya.
Dari Pedesaan
Karena itulah, sejak empat tahun Muammar memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai sumbangan pada bangsa. “Kalau Allah mengizinkan,” kata Muammar, “saya ingin mencetak Muammar-Muammar baru.” Melalui lembaganya itu pula, ia mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat Islam.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak, targetnya setamat SD atau SMP para santri akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.
“Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka akan mempunyai pegangan hidup.”
Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun, karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura tersebut tersendat.
Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa ‘80-an, event empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru qari dan qariah serta penghafal dan mubalig berbasis Al-Quran ini sepertinya tak lagi memiliki gaung.
“Akhir-akhir ini semangat mendalami seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami penurunan,” tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di Padang Arafah. “Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.”
“Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat,” ujar tokoh berusia 51 tahun ini gundah. “Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah.” Ia merindukan, MTQ ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada masa-masanya dulu.
Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ, atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. “Selama ini, bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang ekonominya pas-pasan….”
Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.
Ia memang “legenda”. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustaz H. Muammar Z.A.
Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.
Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar.
Naik Tandu
“Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Ka’bah,” tuturnya haru. “Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Ka’bah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.”
Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.
Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.
Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.
“Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,” kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. “Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.”
Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.
Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.
“Niat saya itu kan berkhidmah,” tutur Muammar dengan rendah hati. “Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.”
Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. “Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur,” katanya tulus.
“Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.”
Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.
Sejak Belia
Meski masih terlihat cukup muda, Ustaz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mu’minatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.
Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh.
Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.
“Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,” kenang Muammar.
Sekitar awal tahun ‘60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.
Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.
Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.
Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
“Wah, saya nggak siap,” ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.
Tidak Berpantang
Ditanya mengenai rahasia suaranya, suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep rahasia apa pun. “Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis,” ungkap Muammar. “Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya selalu pulang pagi.”
Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak berani ikut gurah. “Saya nggak berani ikut,” katanya. “Apalagi yang enggak jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he.” Sebenarnya, kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq, memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.
Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri kepada Allah. “Niat saya mau ngaji lillaahi ta’ala, ‘Ya Allah, tolong saya’.” Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up, pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah. Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk menghindari kaget.
Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.
“Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit,” ungkapnya, berbagi resep. “Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.”
Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati. Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya saya suka.” Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah jam, jika di dalam kota. “Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan lebih.”
Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.
Lia Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester ketiga di London School, jurusan bahsa Inggris. Sejak TK, Lia memang gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya, menurut Muammar, cenderung ke Amerika.
Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP, Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yua’yyan Al-Dani, kelas 3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu belum tergarap.
Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan huruf ba’ dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab, dan daerah Timur Tengah lainnya.
Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni. Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita rasa bahasa), dan sebagainya.
Dari Pedesaan
Karena itulah, sejak empat tahun Muammar memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai sumbangan pada bangsa. “Kalau Allah mengizinkan,” kata Muammar, “saya ingin mencetak Muammar-Muammar baru.” Melalui lembaganya itu pula, ia mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat Islam.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak, targetnya setamat SD atau SMP para santri akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.
“Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka akan mempunyai pegangan hidup.”
Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun, karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura tersebut tersendat.
Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa ‘80-an, event empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru qari dan qariah serta penghafal dan mubalig berbasis Al-Quran ini sepertinya tak lagi memiliki gaung.
“Akhir-akhir ini semangat mendalami seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami penurunan,” tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di Padang Arafah. “Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.”
“Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat,” ujar tokoh berusia 51 tahun ini gundah. “Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah.” Ia merindukan, MTQ ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada masa-masanya dulu.
Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ, atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. “Selama ini, bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang ekonominya pas-pasan….”
H. Muammar Z.A. " Al-Quran Membawaku Keliling Dunia"
Pada era 1980-an, nama H. Muammar Zainal Asyikin atau yang sering disingkat dengan nama Muammar Z.A. cukup dikenal sebagai jawara qari. Kaset yang merekam suara emasnya kala itu cukup banyak dijual dan diputar di masjid-masjid atau pada acara keagamaan.
Baca selengkapnya....Laki-laki kelahiran Pemalang, 14 Juni 1954, tersebut adalah seorang hafiz atau penghafal Alquran dan qari yang dikenal luas secara internasional. Dia pernah menjuarai MTQ tingkat nasional maupun internasional pada 1980-an. Muammar adalah pencetus pembacaan Alquran yang diduetkan dengan arti tiap ayat (saritilawah). Bersama dengan H. Chumaidi, saat itu dia memopulerkan duet qari dan pembaca saritilawah yang dianggap sebagai terobosan presentasi pembacaan Alquran.
Ketika ditemui Jawa Pos di Pesantren Ummulquro, Cipondoh, Tangerang, Minggu lalu (21/11), dia sibuk menularkan ilmunya. Sebanyak 20 santri duduk bersila di musala yang berdiri anggun di tengah kompleks pesantren seluas sekitar 1 hektare tersebut. Suara Muammar melantun merdu dari speaker portabel dengan sebuah clip-on menempel di kemeja putihnya. Para santri menyimak dan menirukan dia membaca ayat-ayat Alquran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah bernada rendah.
”Hari ini sedikit karena baru libur Idul Adha. Tapi, biasanya sampai 60 santri. Siapa pun boleh belajar qiraah di sini secara gratis, tanpa biaya,” ujar Muammar setelah memimpin jamaah salat Duhur.
Walaupun telah mendidik ratusan santri, alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta itu menyatakan tidak mudah menemukan qari berbakat. Sebab, menurut dia, untuk menjadi pelantun kalimat Allah yang bisa berprestasi internasional, dibutuhkan lebih dari kerja keras.
Suami Syarifah Nadia tersebut mengatakan, seorang santri tidak butuh waktu lama untuk memahami materi qari dan menghafal ragam lagu dalam membaca Alquran. Dengan pendidikan intensif, Muammar mampu melakukannya dalam kurun 3–4 bulan. Namun, tutur dia, untuk mendapatkan komposisi suara qari yang lazimnya bernada tinggi dan melengking, dibutuhkan waktu belajar bertahun-tahun. ”Saya menyebutnya evolusi suara. Itu tidak bisa diprediksi. Bergantung masing-masing. Tapi, paling tidak dibutuhkan minimal enam tahun,” jelasnya.
Namun, tak jarang upaya mencetak qari berskala internasional terkendala akses teknologi informasi dan ragam hiburan yang kini mengisi layar kaca. Menurut dia, tradisi mengajarkan seni membaca Alquran (qiraah) ditaklukkan oleh budaya karaoke, lomba pencarian bakat menyanyi, dan berbagai hiburan baru. Regenerasi pemuda-pemuda dengan minat dan bakat menjadi qari internasional sulit dilakukan karena tantangan modernisasi serta gaya hidup kebarat-baratan yang meracuni generasi muda Islam.
Kendala lain yang membuat pendidikan qari sulit menghasilkan output berskala internasional adalah rendahnya apresiasi pemerintah kepada mereka. Misalnya, hadiah yang ditawarkan bagi juara kompetisi MTQ tingkat nasional sangat rendah. Sangat jauh jika dibandingkan dengan hadiah yang diterima para juara di even-even hiburan.
Dia lantas mengenang pengalamannya saat mendapatkan hadiah televisi 14 inci dalam sebuah MTQ tingkat nasional pada era 1980-an. ”Kalau sekarang, biasanya uang beberapa juta rupiah dan naik haji. Tapi, naik hajinya ikut tenaga musiman Kementerian Agama. Menurut Anda, itu layak nggak?” tanya dia.
Di sisi lain, dia menjamin, jika seseorang ikhlas dalam menekuni dunia qari, kebutuhan duniawinya tidak akan sampai kekurangan. Dia mencontohkan dirinya, yang menjadi qari ketika berusia belasan tahun. Dalam 30 tahun masa pengabdian kepada Alquran, dia telah berkeliling dunia.
Saat menghadiri undangan mengaji, dia pernah mencoba berbagai moda transportasi. Mulai jet pribadi, pesawat komersial, limusin, ojek, sampai tandu. Modal menjadi qari pula yang membuat dia diundang sebagai tamu kehormatan raja Arab Saudi dan pada 1981 diberi kesempatan masuk ke dalam Kakbah.
”Sama sekali tidak terbayang sebelumnya bisa berada dalam Kakbah. Ketika itu saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit,” ucap dia.
Ketika menghadiri undangan mengaji, dia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon pada akhir 1990. Mobilnya hancur. Dia terluka parah dan harus menjalani operasi tengkorak. Uniknya, kejadian tersebut adalah kali pertama dan terakhir dia harus dirawat di rumah sakit. Selama 56 tahun hidupnya, tidak pernah sekali pun dia sakit keras dan mendapatkan perawatan. ”Itu adalah berkah Alquran,” tegas dia.
Ketika ditanya mengenai rahasia suara merdu tersebut, Muammar dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep apa pun. Dia bahkan tidak pantang terhadap makanan tersentu atau memiliki kebiasaan khusus. Dalam hal-hal tersebut, dia menyatakan cenderung rasional. ”Apalagi, saya jarang tidur. Tiap hari saya cuma tidur sekitar empat jam,” ucap dia.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai TK, SD, SMP, sampai SMA, yang mempunyai nilai plus pendidikan Alquran. Dia berharap bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Alquran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz (hafalan Alquran). Targetnya, paling tidak setamat SD atau SMP para santri mampu membaca Alquran dengan fasih, baik, dan benar. Dia berharap seni membaca Alquran di Indonesia bisa berkembang dan tidak tenggelam karena ditelan budaya karaoke.
Baca selengkapnya....Laki-laki kelahiran Pemalang, 14 Juni 1954, tersebut adalah seorang hafiz atau penghafal Alquran dan qari yang dikenal luas secara internasional. Dia pernah menjuarai MTQ tingkat nasional maupun internasional pada 1980-an. Muammar adalah pencetus pembacaan Alquran yang diduetkan dengan arti tiap ayat (saritilawah). Bersama dengan H. Chumaidi, saat itu dia memopulerkan duet qari dan pembaca saritilawah yang dianggap sebagai terobosan presentasi pembacaan Alquran.
Ketika ditemui Jawa Pos di Pesantren Ummulquro, Cipondoh, Tangerang, Minggu lalu (21/11), dia sibuk menularkan ilmunya. Sebanyak 20 santri duduk bersila di musala yang berdiri anggun di tengah kompleks pesantren seluas sekitar 1 hektare tersebut. Suara Muammar melantun merdu dari speaker portabel dengan sebuah clip-on menempel di kemeja putihnya. Para santri menyimak dan menirukan dia membaca ayat-ayat Alquran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah bernada rendah.
”Hari ini sedikit karena baru libur Idul Adha. Tapi, biasanya sampai 60 santri. Siapa pun boleh belajar qiraah di sini secara gratis, tanpa biaya,” ujar Muammar setelah memimpin jamaah salat Duhur.
Walaupun telah mendidik ratusan santri, alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta itu menyatakan tidak mudah menemukan qari berbakat. Sebab, menurut dia, untuk menjadi pelantun kalimat Allah yang bisa berprestasi internasional, dibutuhkan lebih dari kerja keras.
Suami Syarifah Nadia tersebut mengatakan, seorang santri tidak butuh waktu lama untuk memahami materi qari dan menghafal ragam lagu dalam membaca Alquran. Dengan pendidikan intensif, Muammar mampu melakukannya dalam kurun 3–4 bulan. Namun, tutur dia, untuk mendapatkan komposisi suara qari yang lazimnya bernada tinggi dan melengking, dibutuhkan waktu belajar bertahun-tahun. ”Saya menyebutnya evolusi suara. Itu tidak bisa diprediksi. Bergantung masing-masing. Tapi, paling tidak dibutuhkan minimal enam tahun,” jelasnya.
Namun, tak jarang upaya mencetak qari berskala internasional terkendala akses teknologi informasi dan ragam hiburan yang kini mengisi layar kaca. Menurut dia, tradisi mengajarkan seni membaca Alquran (qiraah) ditaklukkan oleh budaya karaoke, lomba pencarian bakat menyanyi, dan berbagai hiburan baru. Regenerasi pemuda-pemuda dengan minat dan bakat menjadi qari internasional sulit dilakukan karena tantangan modernisasi serta gaya hidup kebarat-baratan yang meracuni generasi muda Islam.
Kendala lain yang membuat pendidikan qari sulit menghasilkan output berskala internasional adalah rendahnya apresiasi pemerintah kepada mereka. Misalnya, hadiah yang ditawarkan bagi juara kompetisi MTQ tingkat nasional sangat rendah. Sangat jauh jika dibandingkan dengan hadiah yang diterima para juara di even-even hiburan.
Dia lantas mengenang pengalamannya saat mendapatkan hadiah televisi 14 inci dalam sebuah MTQ tingkat nasional pada era 1980-an. ”Kalau sekarang, biasanya uang beberapa juta rupiah dan naik haji. Tapi, naik hajinya ikut tenaga musiman Kementerian Agama. Menurut Anda, itu layak nggak?” tanya dia.
Di sisi lain, dia menjamin, jika seseorang ikhlas dalam menekuni dunia qari, kebutuhan duniawinya tidak akan sampai kekurangan. Dia mencontohkan dirinya, yang menjadi qari ketika berusia belasan tahun. Dalam 30 tahun masa pengabdian kepada Alquran, dia telah berkeliling dunia.
Saat menghadiri undangan mengaji, dia pernah mencoba berbagai moda transportasi. Mulai jet pribadi, pesawat komersial, limusin, ojek, sampai tandu. Modal menjadi qari pula yang membuat dia diundang sebagai tamu kehormatan raja Arab Saudi dan pada 1981 diberi kesempatan masuk ke dalam Kakbah.
”Sama sekali tidak terbayang sebelumnya bisa berada dalam Kakbah. Ketika itu saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit,” ucap dia.
Ketika menghadiri undangan mengaji, dia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon pada akhir 1990. Mobilnya hancur. Dia terluka parah dan harus menjalani operasi tengkorak. Uniknya, kejadian tersebut adalah kali pertama dan terakhir dia harus dirawat di rumah sakit. Selama 56 tahun hidupnya, tidak pernah sekali pun dia sakit keras dan mendapatkan perawatan. ”Itu adalah berkah Alquran,” tegas dia.
Ketika ditanya mengenai rahasia suara merdu tersebut, Muammar dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep apa pun. Dia bahkan tidak pantang terhadap makanan tersentu atau memiliki kebiasaan khusus. Dalam hal-hal tersebut, dia menyatakan cenderung rasional. ”Apalagi, saya jarang tidur. Tiap hari saya cuma tidur sekitar empat jam,” ucap dia.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai TK, SD, SMP, sampai SMA, yang mempunyai nilai plus pendidikan Alquran. Dia berharap bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Alquran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz (hafalan Alquran). Targetnya, paling tidak setamat SD atau SMP para santri mampu membaca Alquran dengan fasih, baik, dan benar. Dia berharap seni membaca Alquran di Indonesia bisa berkembang dan tidak tenggelam karena ditelan budaya karaoke.
H. Muammar. ZA Bangga Bisa Masuk ke Dalam Kakbah
Achmad Muhajir, Juara Dunia Qari Pertama dari RI
Tak Rewel, Jadi Favorit Raja Emirat
Jika dibandingkan dengan para qari dan qariah Indonesia yang berjaya di pentas dunia, Achmad Muhajir termasuk paling senior. Dia adalah qari pertama Indonesia yang merengkuh jawara qari sejagat yang dihelat di Makkah, Arab Saudi, pada 1980. Selain pentas, Muhajir kini berkeliling dunia sebagai juri dan membina para qari dan qariah tanah air.Baca selengkapnya....Rumah Muhajir terletak di Pisangan Raya, Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Rumah dua lantai itu bergaya modern minimalis. Berdiri di atas lahan 800 meter persegi, kediaman Muhajir belum memiliki nomor rumah. Maklum, rumah dengan tujuh kamar tersebut masih anyar. ’’Baru tujuh bulan di sini. Maka, belum ada nomornya,’’ kata Muhajir, lantas tersenyum.
Tidak semua lahan digunakan sebagai bangunan. Sisa lahan sekitar tiga kali lapangan futsal dipakai sebagai taman. Karena berdiri di atas lahan yang lapang, rumah Muhajir lebih terlihat seperti kompleks kediaman daripada sekadar rumah biasa.
Muhajir mengatakan, dirinya sengaja memilih lahan lapang. Bahkan, rencananya di atas lahan kosong itu dibangun sejumlah paviliun. Tujuannya, tiap kali para peserta MTQ singgah ke Jakarta, dia bisa menampung mereka sekaligus membina. ’’Maka, rumah saya banyak kamar. Mereka bisa menginap di sini sekaligus persiapan,’’ ujar lelaki kalem tersebut.
Muhajir memang qari senior di Indonesia. Lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (sekarang Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran) tersebut merupakan juara pertama qari internasional di Arab Saudi pada 1980. Itu adalah prestasi tertinggi yang pertama diraih Indonesia di pentas qari dunia di Makkah.
Bahkan, ketika pulang dari Makkah, Muhajir sampai diarak keliling kota oleh Pemprov DKI Jakarta. Bersama Harir Muhammad (juara keenam hafiz Quran 1980), dia dikalungi bunga dan menumpang jip terbuka. ’’Rasanya seperti jadi kontingen olahraga,’’ katanya, lantas terkekeh.
Maklum, tutur Muhajir, ada unsur ’’balas dendam’’ saat mengarak dirinya. Ketika itu, masyarakat Indonesia sedang terpukul lantaran timnas sepak bola Indonesia baru saja digasak 8-0 oleh timnas Arab Saudi. ’’Jadi, begitu ada berita bahwa kami menang di Arab, ada perintah dari Gubernur untuk mengarak kami keliling kota,’’ ujarnya, tersenyum.
Muhajir menuturkan, 1980 merupakan tahun kedua Kerajaan Arab Saudi mengadakan lomba tilawah Alquran. Cabang yang dilombakan, kata dia, awalnya hanya hafalan. Namun, lambat laun, cabang lomba mulai berkembang. Kini, lomba serupa tak hanya dilaksanakan di Makkah. Tetapi, ada juga di Iran, Mesir, dan negara Timur Tengah lainnya.
Malaysia sebenarnya juga mengadakan lomba serupa. Namun, negeri jiran itu hanya menyelenggarakan lomba qari tingkat Asia-Afrika. Istri Muhajir, Mawaddah Abbas, pernah meraih juara kedua kompetisi pembacaan Alquran tersebut pada 1984 di Malaysia.
Karena sudah mencapai tingkat tertinggi kompetisi membaca Alquran, ada kesungkanan pada diri Muhajir untuk ikut lagi. Karena itu, dia tidak pernah ikut lagi ’’piala dunia’’ antarqari tersebut. ’’Aturannya sih tidak melarang. Tapi, ya kami memberikan kesempatan kepada yang lain,’’ ujarnya.
Tak lagi ikut lomba bukan berarti karir Muhajir sebagai qari tamat. Justru jam terbang lelaki berkulit cerah itu semakin tinggi. Tak hanya tingkat domestik, sejumlah negara di Eropa dan Timur Tengah mengundang dirinya. Di antaranya, pemerintah Iran yang meminta dia menjadi hakim alias juri lomba qari pada 2002, 2003, 2004, dan 2010.
Lelaki kelahiran 1953 itu juga pernah berkeliling untuk ’’pentas’’ di beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Eropa. Pada peresmian masjid di Bosnia, dia diundang untuk membacakan Alquran. Begitu pula pada haul 300 Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. ’’Semua benua sudah saya datangi, kecuali Amerika dan Australia,’’ ujarnya.
Muhajir juga pernah menjadi qari langganan Kerajaan Uni Emirat Arab (UEA). Pada Ramadan 2002, 2003, dan 2005, ayah dua putri itu menjadi qari di masjid-masjid Emirat Arab selama sebulan penuh. ’’Baru pulang pada tanggal 27 (Ramadan). Itu pun kalau ada pesawat,’’ ujarnya.
Menurut Muhajir, qari dari Indonesia merupakan qari favorit Kerajaan Uni Emirat. Sebab, umumnya qari Indonesia tidak rewel terhadap persyaratan dan fasilitas. Itu berbeda dengan qari dari Malaysia dan Brunei Darussalam yang menuntut adanya pengawalan dan fasilitas spesial. ’’Kami diundang kan malah senang dan langsung berangkat. Tidak menuntut ini itu. Saya menginap satu kamar dengan orang Aljazair nggak masalah, walaupun sama-sama nggak bisa berkomunikasi (karena beda bahasa),’’ katanya enteng.
Bersama istri, Muhajir kini lebih banyak mendidik para qari dan qariah sembari terus berkeliling ke daerah-daerah di Indonesia. Kakek satu cucu itu mengatakan tidak bisa berganti profesi selain menjadi qari. Dia juga enggan menjadi pegawai negeri. ’’Barangkali karena jiwanya di sini,’’ imbuhnya.
Menurut Muhajir, qari yang baik tidak hanya mementingkan lagu dan suara dalam melafalkan Alquran. Kitab suci itu, kata dia, tetap harus dibaca dengan benar. Artinya, tajwid dan fasholah bacaan harus dijaga. Tajwid berhubungan dengan akurasi dan qolqolah dalam melafalkan huruf. Fasholah terkait dengan pemenggalan dalam kalimat. ’’Dua itu jangan sampai salah. Sebab, itu yang pokok dalam membaca Alquran, meski lagu dan suaranya bagus,’’ jelasnya.
Tak Rewel, Jadi Favorit Raja Emirat
Jika dibandingkan dengan para qari dan qariah Indonesia yang berjaya di pentas dunia, Achmad Muhajir termasuk paling senior. Dia adalah qari pertama Indonesia yang merengkuh jawara qari sejagat yang dihelat di Makkah, Arab Saudi, pada 1980. Selain pentas, Muhajir kini berkeliling dunia sebagai juri dan membina para qari dan qariah tanah air.Baca selengkapnya....Rumah Muhajir terletak di Pisangan Raya, Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Rumah dua lantai itu bergaya modern minimalis. Berdiri di atas lahan 800 meter persegi, kediaman Muhajir belum memiliki nomor rumah. Maklum, rumah dengan tujuh kamar tersebut masih anyar. ’’Baru tujuh bulan di sini. Maka, belum ada nomornya,’’ kata Muhajir, lantas tersenyum.
Tidak semua lahan digunakan sebagai bangunan. Sisa lahan sekitar tiga kali lapangan futsal dipakai sebagai taman. Karena berdiri di atas lahan yang lapang, rumah Muhajir lebih terlihat seperti kompleks kediaman daripada sekadar rumah biasa.
Muhajir mengatakan, dirinya sengaja memilih lahan lapang. Bahkan, rencananya di atas lahan kosong itu dibangun sejumlah paviliun. Tujuannya, tiap kali para peserta MTQ singgah ke Jakarta, dia bisa menampung mereka sekaligus membina. ’’Maka, rumah saya banyak kamar. Mereka bisa menginap di sini sekaligus persiapan,’’ ujar lelaki kalem tersebut.
Muhajir memang qari senior di Indonesia. Lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (sekarang Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran) tersebut merupakan juara pertama qari internasional di Arab Saudi pada 1980. Itu adalah prestasi tertinggi yang pertama diraih Indonesia di pentas qari dunia di Makkah.
Bahkan, ketika pulang dari Makkah, Muhajir sampai diarak keliling kota oleh Pemprov DKI Jakarta. Bersama Harir Muhammad (juara keenam hafiz Quran 1980), dia dikalungi bunga dan menumpang jip terbuka. ’’Rasanya seperti jadi kontingen olahraga,’’ katanya, lantas terkekeh.
Maklum, tutur Muhajir, ada unsur ’’balas dendam’’ saat mengarak dirinya. Ketika itu, masyarakat Indonesia sedang terpukul lantaran timnas sepak bola Indonesia baru saja digasak 8-0 oleh timnas Arab Saudi. ’’Jadi, begitu ada berita bahwa kami menang di Arab, ada perintah dari Gubernur untuk mengarak kami keliling kota,’’ ujarnya, tersenyum.
Muhajir menuturkan, 1980 merupakan tahun kedua Kerajaan Arab Saudi mengadakan lomba tilawah Alquran. Cabang yang dilombakan, kata dia, awalnya hanya hafalan. Namun, lambat laun, cabang lomba mulai berkembang. Kini, lomba serupa tak hanya dilaksanakan di Makkah. Tetapi, ada juga di Iran, Mesir, dan negara Timur Tengah lainnya.
Malaysia sebenarnya juga mengadakan lomba serupa. Namun, negeri jiran itu hanya menyelenggarakan lomba qari tingkat Asia-Afrika. Istri Muhajir, Mawaddah Abbas, pernah meraih juara kedua kompetisi pembacaan Alquran tersebut pada 1984 di Malaysia.
Karena sudah mencapai tingkat tertinggi kompetisi membaca Alquran, ada kesungkanan pada diri Muhajir untuk ikut lagi. Karena itu, dia tidak pernah ikut lagi ’’piala dunia’’ antarqari tersebut. ’’Aturannya sih tidak melarang. Tapi, ya kami memberikan kesempatan kepada yang lain,’’ ujarnya.
Tak lagi ikut lomba bukan berarti karir Muhajir sebagai qari tamat. Justru jam terbang lelaki berkulit cerah itu semakin tinggi. Tak hanya tingkat domestik, sejumlah negara di Eropa dan Timur Tengah mengundang dirinya. Di antaranya, pemerintah Iran yang meminta dia menjadi hakim alias juri lomba qari pada 2002, 2003, 2004, dan 2010.
Lelaki kelahiran 1953 itu juga pernah berkeliling untuk ’’pentas’’ di beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Eropa. Pada peresmian masjid di Bosnia, dia diundang untuk membacakan Alquran. Begitu pula pada haul 300 Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. ’’Semua benua sudah saya datangi, kecuali Amerika dan Australia,’’ ujarnya.
Muhajir juga pernah menjadi qari langganan Kerajaan Uni Emirat Arab (UEA). Pada Ramadan 2002, 2003, dan 2005, ayah dua putri itu menjadi qari di masjid-masjid Emirat Arab selama sebulan penuh. ’’Baru pulang pada tanggal 27 (Ramadan). Itu pun kalau ada pesawat,’’ ujarnya.
Menurut Muhajir, qari dari Indonesia merupakan qari favorit Kerajaan Uni Emirat. Sebab, umumnya qari Indonesia tidak rewel terhadap persyaratan dan fasilitas. Itu berbeda dengan qari dari Malaysia dan Brunei Darussalam yang menuntut adanya pengawalan dan fasilitas spesial. ’’Kami diundang kan malah senang dan langsung berangkat. Tidak menuntut ini itu. Saya menginap satu kamar dengan orang Aljazair nggak masalah, walaupun sama-sama nggak bisa berkomunikasi (karena beda bahasa),’’ katanya enteng.
Bersama istri, Muhajir kini lebih banyak mendidik para qari dan qariah sembari terus berkeliling ke daerah-daerah di Indonesia. Kakek satu cucu itu mengatakan tidak bisa berganti profesi selain menjadi qari. Dia juga enggan menjadi pegawai negeri. ’’Barangkali karena jiwanya di sini,’’ imbuhnya.
Menurut Muhajir, qari yang baik tidak hanya mementingkan lagu dan suara dalam melafalkan Alquran. Kitab suci itu, kata dia, tetap harus dibaca dengan benar. Artinya, tajwid dan fasholah bacaan harus dijaga. Tajwid berhubungan dengan akurasi dan qolqolah dalam melafalkan huruf. Fasholah terkait dengan pemenggalan dalam kalimat. ’’Dua itu jangan sampai salah. Sebab, itu yang pokok dalam membaca Alquran, meski lagu dan suaranya bagus,’’ jelasnya.
Achmad Muhajir dan Mawaddah Abbas, pasangan suami-istri juara qori internasional.
Di mata Maria Ulfa, keterpurukan Indonesia tidak hanya di bidang olahraga dan pendidikan, tetapi juga di dalam pendidikan seni membaca dan hafalan kitab suci Alquran. Qariah yang menjadi juara dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1980 itu prihatin karena perhatian pemerintah memudar seiring dengan hilangnya gema Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di negeri ini.
Baca selengkapnya....Contoh perhatian yang tidak seantusias dulu terjadi ketika Maria menjadi official qariah Ade Halimah, juara membaca dan hafalan Alquran 30 juz pada 2007. Sepulang mereka dari kontes di Libya, tidak ada perwakilan pemerintah yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta.
Padahal, kata Maria, dirinya sudah menghubungi pejabat pemerintah karena sudah membawa nama baik negara. Dalam kontes itu mereka membawa hadiah Rp 500 juta. ’’TV dan media-media di sana (Libya, Red) memberikan sambutan luar biasa setelah juara. Banyak yang meminta wawancara,’’ kenang perempuan kelahiran Lamongan, 21 Desember 1955, tersebut.
Sesampainya mereka di Jakarta, ternyata tidak ada sambutan sedikit pun. Maria dan Ade Halimah harus pulang dengan menumpang bus umum di Bandara Soekarno-Hatta.
Kondisi itu lain bila dibandingkan dengan pengalaman dirinya pada 1980 saat menjadi juara pertama tingkat dunia seni membaca Alquran di Kuala Lumpur. Begitu dia menjejakkan kaki di Jakarta, ada kalungan bunga. Dia pun diarak sampai ke Balai Kota DKI Jakarta. Lalu, di sana ada upacara penyambutan. ’’Selanjutnya, kita diinapkan di hotel. Belum boleh pulang karena esok harinya diajak sowan kepada menteri-menteri,’’ kisah alumnus IAIN Sunan Ampel itu.
Bagi Maria, kurangnya perhatian pemerintah jelas amat memprihatinkan. Itu berimbas pada terpuruknya MTQ yang dulu sangat populer. Imbas lanjutannya, Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia tidak pernah lagi menjadi juara MTQ tingkat internasional dalam lima tahun belakangan ini. ’’Bisa jadi juga karena salah pilih juri di MTQ nasional,’’ tuturnya.
Meski begitu, Maria tidak pernah menyerah. Pada 2001 dia mendirikan Pesantren Baitul Qurro dan Pusat Studi Tilawatil Quran Jakarta. Lokasinya di lingkungan rumahnya di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi di perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan. ’’Sekarang ada dua institusi tempat saya mengabdi, di pesantren ini dan Institut Ilmu Alquran (IIQ di Ciputat sebagai pembantu rektor III, Red),’’ kata istri dokter spesialis paru Mukhtar Ikhsan tersebut.
Pesantren Baitul Qurro, tutur Maria, didirikan secara tidak sengaja setelah ada begitu banyak calon qari dan qariah yang berdatangan menuntut ilmu. Awalnya dia menampung mereka di lantai dua rumahnya. ’’Karena anak saya bertambah besar dan minta kamar (terpisah), kebetulan rumah di depan itu dijual, akhirnya saya buatkan sebagai pesantren tahap pertama,’’ jelasnya.
Maria pun membeli tiga bidang tanah di samping rumahnya. Lokasinya saling berdampingan sehingga bisa dipersatukan. Saat ini pesantrennya memiliki dua bangunan bertingkat untuk 40 santri yang terdiri atas 30 perempuan dan 10 pria. ’’Dua puluh di antaranya (belajar) gratis karena mereka punya bakat besar, tapi dari keluarga kurang mampu,’’ ungkapnya.
Seluruh santri itu masih bersekolah di pagi hari. Mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Sepulang dari belajar di sekolah formal itulah, kegiatan mereka di pesantren dimulai hingga malam. ’’Mereka tinggal di sini. Hanya sekolah yang di luar,’’ ujarnya.
Maria menerapkan kurikulum tersendiri dengan penekanan khusus pada metode baca Alquran untuk MTQ. Dalam mengajar, Maria dibantu ustadah lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan syekh Mesir yang ditugaskan pemerintahnya untuk menyebarkan ilmu Alquran di Indonesia. ’’Syekh itu ditugaskan untuk IIQ, tetapi belum ada jadwal mengajar di sana. Jadi, saya minta di sini. Kan sama saja. Gajinya dari pemerintah Mesir,’’ terangnya.
Maria berharap para santri itu mampu meneruskan jejak dan prestasinya. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dunia. ’’Selain (mengajar) di pesantren ini, saya sebetulnya juga ke provinsi-provinsi. Banyak dan bahkan sebagian besar (santri binaannya, Red) jadi juara provinsi. Tetapi, belum sampai juara nasional,’’ kata ibu tiga anak dan nenek dua cucu itu.
Maria juga berharap ada anggota keluarga yang menjadi penerus. Terutama, mengelola pesantren yang dibangunnya dengan biaya sendiri. Tetapi, di antara tiga anaknya yang laki-laki (Nabris, Labib, dan Rifky), tidak ada yang berbakat menjadi qari.
’’Tidak ada yang suaranya bagus. Rata-rata lurus saja begitu,’’ ujarnya. ’’Suara (qari) kan harus punya getaran. Ada cengkok-cengkoknya begitu. Jika bukan karunia Allah, memang tidak bisa. Ada yang ayahnya qari dan ibunya qariah, tetapi suara anaknya nggak bagus. Sebaliknya, ada yang ayah-ibunya bukan qari dan qariah, tapi suara anaknya bagus,’’ ungkapnya.
Ketiga anaknya justru mengikuti jejak sang ayah, yakni kuliah di bidang kedokteran. Dua di antaranya menikah dan berprofesi dokter. Maria lantas berharap kepada dua menantu perempuannya. Tetapi, mereka lebih suka dunia medis. ’’Saya tinggal berharap, semoga anak bungsu saya dapat (jodoh) qariah. Saya sudah tawarkan ke dia, ’mama pilihkan ya?’,’’ ceritanya lantas tertawa.
Jika rencana itu tidak berhasil, Maria bisa berharap kepada cucunya. Salah seorang dari dua cucunya adalah perempuan, yakni Aisyah, 2. ’’Suka saya tanya, Aisyah kalau sudah besar mau jadi apa? ’Mau jadi qariah kayak mbah putri’. Begitu katanya,’’ ungkap Maria.
Maria juga berharap keluarganya mau melanjutkan pesantren yang didirikannya itu. Dengan begitu, misi melahirkan para qari dan qariah terwujud dan ilmu yang dimiliki tidak terputus.
Baca selengkapnya....Contoh perhatian yang tidak seantusias dulu terjadi ketika Maria menjadi official qariah Ade Halimah, juara membaca dan hafalan Alquran 30 juz pada 2007. Sepulang mereka dari kontes di Libya, tidak ada perwakilan pemerintah yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta.
Padahal, kata Maria, dirinya sudah menghubungi pejabat pemerintah karena sudah membawa nama baik negara. Dalam kontes itu mereka membawa hadiah Rp 500 juta. ’’TV dan media-media di sana (Libya, Red) memberikan sambutan luar biasa setelah juara. Banyak yang meminta wawancara,’’ kenang perempuan kelahiran Lamongan, 21 Desember 1955, tersebut.
Sesampainya mereka di Jakarta, ternyata tidak ada sambutan sedikit pun. Maria dan Ade Halimah harus pulang dengan menumpang bus umum di Bandara Soekarno-Hatta.
Kondisi itu lain bila dibandingkan dengan pengalaman dirinya pada 1980 saat menjadi juara pertama tingkat dunia seni membaca Alquran di Kuala Lumpur. Begitu dia menjejakkan kaki di Jakarta, ada kalungan bunga. Dia pun diarak sampai ke Balai Kota DKI Jakarta. Lalu, di sana ada upacara penyambutan. ’’Selanjutnya, kita diinapkan di hotel. Belum boleh pulang karena esok harinya diajak sowan kepada menteri-menteri,’’ kisah alumnus IAIN Sunan Ampel itu.
Bagi Maria, kurangnya perhatian pemerintah jelas amat memprihatinkan. Itu berimbas pada terpuruknya MTQ yang dulu sangat populer. Imbas lanjutannya, Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia tidak pernah lagi menjadi juara MTQ tingkat internasional dalam lima tahun belakangan ini. ’’Bisa jadi juga karena salah pilih juri di MTQ nasional,’’ tuturnya.
Meski begitu, Maria tidak pernah menyerah. Pada 2001 dia mendirikan Pesantren Baitul Qurro dan Pusat Studi Tilawatil Quran Jakarta. Lokasinya di lingkungan rumahnya di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi di perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan. ’’Sekarang ada dua institusi tempat saya mengabdi, di pesantren ini dan Institut Ilmu Alquran (IIQ di Ciputat sebagai pembantu rektor III, Red),’’ kata istri dokter spesialis paru Mukhtar Ikhsan tersebut.
Pesantren Baitul Qurro, tutur Maria, didirikan secara tidak sengaja setelah ada begitu banyak calon qari dan qariah yang berdatangan menuntut ilmu. Awalnya dia menampung mereka di lantai dua rumahnya. ’’Karena anak saya bertambah besar dan minta kamar (terpisah), kebetulan rumah di depan itu dijual, akhirnya saya buatkan sebagai pesantren tahap pertama,’’ jelasnya.
Maria pun membeli tiga bidang tanah di samping rumahnya. Lokasinya saling berdampingan sehingga bisa dipersatukan. Saat ini pesantrennya memiliki dua bangunan bertingkat untuk 40 santri yang terdiri atas 30 perempuan dan 10 pria. ’’Dua puluh di antaranya (belajar) gratis karena mereka punya bakat besar, tapi dari keluarga kurang mampu,’’ ungkapnya.
Seluruh santri itu masih bersekolah di pagi hari. Mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Sepulang dari belajar di sekolah formal itulah, kegiatan mereka di pesantren dimulai hingga malam. ’’Mereka tinggal di sini. Hanya sekolah yang di luar,’’ ujarnya.
Maria menerapkan kurikulum tersendiri dengan penekanan khusus pada metode baca Alquran untuk MTQ. Dalam mengajar, Maria dibantu ustadah lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan syekh Mesir yang ditugaskan pemerintahnya untuk menyebarkan ilmu Alquran di Indonesia. ’’Syekh itu ditugaskan untuk IIQ, tetapi belum ada jadwal mengajar di sana. Jadi, saya minta di sini. Kan sama saja. Gajinya dari pemerintah Mesir,’’ terangnya.
Maria berharap para santri itu mampu meneruskan jejak dan prestasinya. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dunia. ’’Selain (mengajar) di pesantren ini, saya sebetulnya juga ke provinsi-provinsi. Banyak dan bahkan sebagian besar (santri binaannya, Red) jadi juara provinsi. Tetapi, belum sampai juara nasional,’’ kata ibu tiga anak dan nenek dua cucu itu.
Maria juga berharap ada anggota keluarga yang menjadi penerus. Terutama, mengelola pesantren yang dibangunnya dengan biaya sendiri. Tetapi, di antara tiga anaknya yang laki-laki (Nabris, Labib, dan Rifky), tidak ada yang berbakat menjadi qari.
’’Tidak ada yang suaranya bagus. Rata-rata lurus saja begitu,’’ ujarnya. ’’Suara (qari) kan harus punya getaran. Ada cengkok-cengkoknya begitu. Jika bukan karunia Allah, memang tidak bisa. Ada yang ayahnya qari dan ibunya qariah, tetapi suara anaknya nggak bagus. Sebaliknya, ada yang ayah-ibunya bukan qari dan qariah, tapi suara anaknya bagus,’’ ungkapnya.
Ketiga anaknya justru mengikuti jejak sang ayah, yakni kuliah di bidang kedokteran. Dua di antaranya menikah dan berprofesi dokter. Maria lantas berharap kepada dua menantu perempuannya. Tetapi, mereka lebih suka dunia medis. ’’Saya tinggal berharap, semoga anak bungsu saya dapat (jodoh) qariah. Saya sudah tawarkan ke dia, ’mama pilihkan ya?’,’’ ceritanya lantas tertawa.
Jika rencana itu tidak berhasil, Maria bisa berharap kepada cucunya. Salah seorang dari dua cucunya adalah perempuan, yakni Aisyah, 2. ’’Suka saya tanya, Aisyah kalau sudah besar mau jadi apa? ’Mau jadi qariah kayak mbah putri’. Begitu katanya,’’ ungkap Maria.
Maria juga berharap keluarganya mau melanjutkan pesantren yang didirikannya itu. Dengan begitu, misi melahirkan para qari dan qariah terwujud dan ilmu yang dimiliki tidak terputus.
Maria Ulfa Cetak Qariah, Bangun Pesantren di Rumah
Kamis, 07 Juli 2011
By Sheikh Hajjaj Ramadan Al-Hindawi, One qori 'egypt a rich variety of songs. (Who want to know the sound and variation shaykhs Hajjaj, can see here)
Establish and maintain sound quality vocals
At the time of presentation or reciting holy verses of the Koran, is to determine the effectiveness of vocal quality in appearance. Although the visual and verbal communication is an important factor but the sound quality is also a significant factor. To maintain the quality of the sound to stay fit, there are a few tips that can be used:1. Istiqomah exercise (routine)Do vocal exercises orderly start of the tone qoror, nawa, responsible, accountable jawabul, until murokkab (from the lowest to the highest level)2. Do not smokeAlthough cigarettes are not actually very big influence on the sound.3. Miinum lots of waterAvoid drinking water for tea, coffee and alcohol. And carbonated water that is too much. It is better to drink lots of water. If you drink bottled water, choose brands that are trusted authenticity and quality. Because not all mineral water good for our throat. Therefore need to be tried, if there is a drink that bad merpengaruh in your throat, do not continue to drink it.4. Avoid too long in the hot and cold weather conditionsMenurup research, too long basking in the sun and stay in air conditioning can degrade sound quality.5. Avoid eating too lateYou are always a special show at night, eat too much the night resulting in incomplete digestion, thereby affecting the throat of work that will affect the quality of the vocals. Ideally for a qori ', the last dinner is at 8 tonight.Dinner can also make the body to be fat, if our body fatness, it will result in a heavy voice, and breathing becomes short of breath. The desire for dinner can be replaced with fruits like oranges and so on.6. Do not talk muchAvoid too much to say that there is no benefit, shouting, berorasi and so forth. This will eliminate the softness, clarity and kesyahduan your sound. The result will be a rough sound, not nodes and less pleasant to hear.7. Controlling stressExcessive stress can reduce the sound quality, use relaxation and breathing techniques to control stress, so that blood flow to the entire body can be controlled and all your organs working properly tobuh (including throat).8. Fasting a few hours before the "show"Avoid food and drinks that stimulate the throat, especially before the show, such as greasy foods, contain fiber, or powder form. In order not to interfere with the appearance of your sound.9. Keep health and staminaIn addition to exercise, regular rest, suffuse the body needs nutrition, health and stamina to stay awake, because the sound we will spend considerable energy.10. Keep your mental stabilityEliminate feeling nervous, nervousness, lack of PD, shame and his friends. Because this is the most fatal damage, your voice will become a mess.Besides the above tips there is one more important thing is resignation, submit to God and to your business memohan reached. And that is not less obligatory, niatkanlah all your efforts solely because of Allah SWT.Thus, may be useful.
Establish and maintain sound quality vocals
At the time of presentation or reciting holy verses of the Koran, is to determine the effectiveness of vocal quality in appearance. Although the visual and verbal communication is an important factor but the sound quality is also a significant factor. To maintain the quality of the sound to stay fit, there are a few tips that can be used:1. Istiqomah exercise (routine)Do vocal exercises orderly start of the tone qoror, nawa, responsible, accountable jawabul, until murokkab (from the lowest to the highest level)2. Do not smokeAlthough cigarettes are not actually very big influence on the sound.3. Miinum lots of waterAvoid drinking water for tea, coffee and alcohol. And carbonated water that is too much. It is better to drink lots of water. If you drink bottled water, choose brands that are trusted authenticity and quality. Because not all mineral water good for our throat. Therefore need to be tried, if there is a drink that bad merpengaruh in your throat, do not continue to drink it.4. Avoid too long in the hot and cold weather conditionsMenurup research, too long basking in the sun and stay in air conditioning can degrade sound quality.5. Avoid eating too lateYou are always a special show at night, eat too much the night resulting in incomplete digestion, thereby affecting the throat of work that will affect the quality of the vocals. Ideally for a qori ', the last dinner is at 8 tonight.Dinner can also make the body to be fat, if our body fatness, it will result in a heavy voice, and breathing becomes short of breath. The desire for dinner can be replaced with fruits like oranges and so on.6. Do not talk muchAvoid too much to say that there is no benefit, shouting, berorasi and so forth. This will eliminate the softness, clarity and kesyahduan your sound. The result will be a rough sound, not nodes and less pleasant to hear.7. Controlling stressExcessive stress can reduce the sound quality, use relaxation and breathing techniques to control stress, so that blood flow to the entire body can be controlled and all your organs working properly tobuh (including throat).8. Fasting a few hours before the "show"Avoid food and drinks that stimulate the throat, especially before the show, such as greasy foods, contain fiber, or powder form. In order not to interfere with the appearance of your sound.9. Keep health and staminaIn addition to exercise, regular rest, suffuse the body needs nutrition, health and stamina to stay awake, because the sound we will spend considerable energy.10. Keep your mental stabilityEliminate feeling nervous, nervousness, lack of PD, shame and his friends. Because this is the most fatal damage, your voice will become a mess.Besides the above tips there is one more important thing is resignation, submit to God and to your business memohan reached. And that is not less obligatory, niatkanlah all your efforts solely because of Allah SWT.Thus, may be useful.
Sports Vocal Technique The Qari 'International
Jangkauan vokal setiap orang berbeda. Standar normal umumnya orang memiliki dua oktaf. Semakin lama vokal seseorang sekarang, lebih dan memungkinkan dia untuk membawa berbagai jenis lagu juga. Dengan catatan, dia memiliki kemampuan / teknik vokal yang baik juga tentunya.Seseorang yang bertipikal vokal bass, bariton, alto, dan sopran Mezo, biasanya memiliki vokal pendek sekarang. Lain halnya seseorang yang vokal tenor bertipikal atau sopran, biasanya memiliki jarak vokal. Namun, terkadang ada juga, meskipun ia bertipikal bass, namun memiliki jarak vokal. Sebaliknya, orang yang bertipikal tenor tapi jangkauan ....
Baca selengkapnya....
Baca selengkapnya....
Tips Mendapatkan Suara yang Baik
My Blog List
created by afdhal. Diberdayakan oleh Blogger.
Followers
About Me
- Unknown
Archives
-
▼
2011
(8)
-
▼
Juli
(8)
- Qari Indonesia Juara MTQ Internasional
- Acara Pembukaan MTQ Internasional Ditutup Qari Keh...
- H. Muammar Z.A. " Al-Quran Membawaku Keliling Du...
- H. Muammar. ZA Bangga Bisa Masuk ke Dalam Kakbah
- Achmad Muhajir dan Mawaddah Abbas, pasangan suami-...
- Maria Ulfa Cetak Qariah, Bangun Pesantren di Rumah
- Sports Vocal Technique The Qari 'International
- Tips Mendapatkan Suara yang Baik
-
▼
Juli
(8)